Jumat, 22 Maret 2019

Cerpen


Menenun Harap di Awal Tahun

By: Faiq aktif sebagai reporter di LPM
https://www.hipwee.com/list/untukmu-perempuan-penumpuk-harapan-jangan-korbankan-perasaanmu/

Pada nyatanya, dunia dituntut dengan yang namanya harapan. Aku, kamu, dia, kalian, dan mereka, dan pada intinya kita, hidup karena harapan. Aku dengan harapanku. Dia dengan harapannya. Kalian dengan harapan kalian. Mereka dengan harapan mereka. Dan, kita pasti memiliki harapan berbeda.
Satu udara, satu rembulan di satu bumi. Manakala petang datanglah bintang, dan jika pagi berganti matahari. Di tengah keramaian kota, aku hidup dengan seorang ibu yang kupanggil “Emmak”,  dengan kondisi rumah yang tak layak. Rumah hasil kreativitas aku dan Emma’. Kardus buangan dari toko sebelah, kami pungut dan dijadikan alas untuk tidur, buangan plastik kami jadikan atap untuk berteduh bilamana hujan. Rumah kami indah. Ada, meski tak diinginkan, layak, meski tak dilayakkan. Tapi, kami berbeda.  Bukannya protes, kami selalu bersyukur karena masih bisa merasakan indahnya pagi dan malam. Emmak selalu mengajariku arti dari bersyukur.
“Bersyukur itu indah, nak!”, itu adalah kalimat yang menjadi pesan Emmak setiap usai salat berjamaah. Dan, itupun setiap waktu. Kurasa, setara dengan kultum (kuliah tujuh menit), yang biasa dibacakan di masjid, pas setelah salat berjamaah.
Aku adalah gadis remaja. Sholihah adalah gelar yang disandangkan Emmak kepadaku. Dari lahir sampai sekarang, saat usiaku sudah mencapai 19 tahun, aku hanya mengenal Emmak, tidak Bapak. Emmak bilang, Bapakku merantau entah di mana. Karena, dari kecil, aku tidak banyak tanya tentang Bapak. Karena, setiap kali aku melakukannya, kulihat Emmak menangis menahan pilu, mungkin juga rindu. Dan aku tidak ingin Emmak sedih.
Aku sendiri takjub dan bangga telah menjadi anak Emmak. Seorang wanita yang tegar, sabar, dan ia selalu bersyukur. Sebab, ia percaya dengan bersyukur ia akan mendapatkan apa yang ia dan aku harapkan. Bahkan, nyaris tak pernah kulupa, saat aku kena dampratan kemarahan Emmak. Waktu itu, bukanya bersyukur, aku mengeluh dengan keadaanku yang seperti ini. Dalam doa yang kupanjatkan aku menangis tersedu-sedu. Hingga dalam nada rundukku, nafasku terengah-engah di tengah keheningan. Dan, tangisanku mengganggu kekhusukan Emmak. Emmak memandangku lekat-lekat. Gamang, cemas dan penuh tanya. Aku hanya menunduk tak berani mengangkat wajah, atau memandang wajah Emmak   yang ranum. Dan akhirya, pecah juga keheningan saat itu. Saat Emmak merasakan klimaks penasaran pada kondisiku. Tiba-tiba tangan Emmak, yang kasar menurut orang, tapi memiliki sihir kedamaian, menurutku, memegang pundak dan mengangkat dagu. Terpancarlah cerah mata Emmak menatapku penuh tanya. Emmak tidak bicara satu katapun. Tapi, aku paham apa yang Emmak mau.
“Emmak...., kenapa sih, Tuhan menjadikan kita seperti ini ? dengan kondisi yang tidak layak, dan bahkan lebih parah lagi, Sholihah belum sempat melihat seperti apakah wajah bapak. Sholihah capek terus-terusan seperti ini. Sholihah ingin seperti mereka, yang rumahnya bergedung tinggi. Sholihah ingin seperti mereka, yang keluarganya utuh”, tangisan sholihah semakin menjadi-jadi kebungkaman sudah lenyap.
Tiba-tiba saja Emmak pergi. Tanpa berusaha menghibur ataupun menasehati. Seketika saja aku mengusaikan tangisku. Aku dilema, manakala kulihati Emmak sudah menghilang dari pintu. Berbagai macam pertanyaan timbul satu persatu memperebutkan jawaban di otakku. Kiranya Emmak kenapa ?, Emmak marah ?, atau Emmak sedih ?,. jangan-jangan Emmak pergi meninggalkanku ?, apa dia bosan denganku yang selalu menuntut ?, pertanyaan-pertanyaan itu nyaris tak menemukan jawaban. Akupun rancu, antara mengejar atau tetap diam di hamparan sajadah biru ini.
Asaku melambung tinggi. Menelaah satu persatu dari ucapanku, pada Emmak, mencerna dari setiap celah kata dan bahkan hingga kalimat. Ada getar dalam dada, teringat pesan Emmak yang hilang tanpa jejak. Aku lupa bersyukur. Kukira satu jawaban ini adalah suatu kebenaran mutlak yang menyebabkan kemarahan Emmak.
“Astagfirullahhal adzim..... 3x”,
Seperti sajam yang melukai kulit, lidahku sudah menyayat hati Emmak. Lawanku satu-satunya. Terlebih, aku telah membuat neraka. Aku melipat mukenah dan meletakannya di kasur. Pikiranku sudah mulai kacau. Rasa cemas mulai mengganggu. Aku harus mencari Emmak, kemanapun itu.
Pada jalan setapak, kususuri lorong dengan secercah cahaya harapan. Dengan hati hampa dan rasa berdosa. Mataku kembali hujan.
“maafkan Sholihah, ya Allah!, Sholihah lupa bersyukur.”, ratap Sholihah, menengadahkan telapak tangannya ke langit. Menitip pasrah pada yang kuasa, dan memohon ampunan atas kehilafannya.
Emmak belum saja ditemukan sampai sekarang. Hari sudah mulai senja. Aku benar-benar hawatir dengan Emmak. Emmak dimana?, sudah kucari dimana-mana, tapi belum saja ditemukan. Atau barangkali Emmak sudah ada di rumah. Akupun pulang dengan membawa harapan meski pergiku belum ada jawaban atas Emmak. Aku merunduk tanpa melirik kanan kiri. Karena, menjaga pandangan adalah solusi terbaik untuk menjaga hati dari rasa iri dan hanya membuatku lupa bersyukur.
Dari kejauhan, kulihati Emmak di dekat rumah dengan barang rosokan yang lumayan. Aku dan Emmak adalah pekerja ulung di setiap hari. Semua pekerjaan kami kerjakan. Baik dari mencuci, mencari barang bekas, dan jualan kue keliling milik Pak Ahmad, tetangga kami.  Kata Emmak, asalkan itu bukan mencuri, dan halal. Dan syukur sekali, seperti Pak Ahmad, yang baik, dan mau menolong kami. Setidaknya hal itu sudah mengurangi beban Emmak. Jika kue milik Pak Ahmad laku satu keranjang, maka upah yang kami dapatkan adalah Rp. 30.000, 00. Nilai rupiah yang cukup besar bagi aku dan Emmak. Tapi, Emmak benar-benar wanita hebat. Sebagai tulang punggung keluarga, beliau tidak pernah mengeluh sama sekali. Tiada perempuan setegar Emmak, di dunia ini.
Dari semua tetanggaku, aku bahkan hafal dengan karaker mereka masing-masing. Pak Ahmad, yang penolong. Ibu Khumairoh (istri Pak Ahmad), yang nyaris tidak jauh berbeda dengan Pak Ahmad. Beliau juga baik hati dan ramah. Maklum, berkat bimbingan suaminya.  Berbeda dengan Bu. Tuti (tetangga dekat yang kaya raya), tetapi pelit. Bahkan, aku ingat sekali dengan hal ini, saat aku dan Emmak, mencoba meminjam uang senilai Rp.20.000,00. Dan beliau tidak memberinya gara-gara takut tidak bisa membayar, katanya. Padahal, uang sedemikian tidak apa-apanya bagi Bu. Tini. Adapula Ibu Tini, yang judes. Pak Ali, yang sombong. Dan masih banyak lagi tetanggaku yang sifatnya tidak pantas kusebutkan.
Seperti biasa, setiap pagi, aku dan Emmak ke rumah Pak Ahmad, untuk mengambil kue yang akan dijual di pasar. Dan ternyata, hari itu sekitar tiga keranjang. Tetapi, kami optimis bahwa kue itu akan laris manis. Aku dan Emmak merancang strategi sebaik mungkin. Setelah lama memperbincangkan argumen masing-masing, akhirnyapun ada titik solusi yang kami temui. Kami berinisiatif untuk menjual kue itu secara terpisah. Aku di pasar dan Emmak keliling. Sebenarnya, aku tidak tega jika Emmak berjualan keliling, aku sudah mencoba memaksa Emmak untuk bertukar posisi. Tapi, Emmak tetap keras-kepala menolaknya. Akhirnyapun, kita pergi pada tujuan masing-masing. Aku dengan dua buah kerangjang, dan Emmak, dengan satu keranjang.
Seperti biasa, pagi itu pasar ramai pengunjung. Ada yang sudah akad jual-beli, ada yang masih tawar-menawar terkait harga ikan, dan ada juga yang bertengkar gara-gara ikan yang ingin dibelinya direbut pelanggan lain. Tiba-tiba ada satu pengunjung yang menghampiri stand-ku. Iya, kupikir ini stand, dengan satu kursi, tempatku duduk, dan LENCAK –Istilah Madura yang digunakan untuk menyatakan tempat duduk yang cukup untuk banyak orang. Dan, biasanya dijadikan alas kasur orang Madura- unik dalam kategori pasar.
“Tante, beli kuenya, dong!, belapa ya Te?”, tanya seorang bocah perempuan yang lucu, lincah mengubah R menjadi L.
“1000-AN, Dek. Mau beli berapa, sayng? Biar tante bungkusi.”, ucapku dengan ramah. Iya, maklum. Sebagai penjual memang harus ramah dan baik hati pada pelanggan.
“Aini, mau beli sepuluh libu, Te.”
“ok.... tunggu ya, dedek Aini!. Tante bungkusin dulu kuenya.”
“siap, Tante”.
“1, 2, 3, 4........10. ini, dek. Kuenya sudah selesai.”, sampai menyerahkan bungkusan kue tadi.
“terimakasih, Tante. Aini balik dulu, ya!”, sambil menyodorkan selembar uang senilai Rp.10.000,00 an.
Akupun menerimanya. Dan mengucapkan Bhye Bhye kepadaya. Gadis yang lucu, cantik, lucu. Uh... menggemaskan, pikirku. Satu, dua orang pengunjung kembali datang ke Stand-ku. Dan, aku melayaninya seramah mungkin dan ada satu pengunjung terakhir, seorang ibu bersama anaknya yang menangis. Dalam setiap kata yang mengalir dari mulut anak itu, aku mencernanya bahwa ia menangis gara-gara ingin membeli petasan untuk tahun baru.
Pikirku mulai labil karena tangisan anak kecil itu, dan kata-katanya yang membuatku galau, menerka impian yang sumula aku tanam.  Tahun baru sudah akan tiba, sedangkan aku masih saja bermimpi. Kuharap ada keajaiban yang datang pada lembaran tahun yang baru akan aku rancang dan aku jalani. Lusa, hidupku akan berubah. Entah menjadi lebh baik, atau sebaliknya.
Tahun baru ini, aku ingin sekali merayakan dengan keluarga. Aku, Bapak dan Emmak, dengan sebuah petasan yang biasa orang pegang saat tahun baru. Aku sangat bermimpi bertemu bapak. Aku ingin melihat seperti wajah bapak. Ranumkah?, galakkah?, atau apapun itu.
###
Benar saja, tahun baru akan segera berlangsung, nanti malam. namun, bapak belum saja terlihat atau sekedar memberi harap, meski harapan palsu. Aku tetap saja tidak putus harapan. Berharap ada tamu datang, dan itu adalah Bapak. Jangankan wajah, nama panggilanpun aku tak tau.
“Assalamualaikum....!”, kudengar suara Pak Ahmad sayup-sayup terdengar dari balik pintu kardus.
“Waalaikum salam”, sembari mencari kebenaran dari sumber suara tadi. Dan, benar. Itu adalah Pak Ahmad, dengan seorang pria jangkung, yang sebaya dengan Pak Ahmad, dan entah siapa dia. Barangkali sahabat karibnya, pikirku.
“Nak, ini bapak... ini bapakmu.”, dengan nada kemayunya yang begitu menyentuh hati.
“ba.... bapak?....”, aku langsung memelukya, erat sekali.
Terimakasih tuhan, sudah menjawab doaku selama ini. Aku telah bertemu dengan bapak. Bahkan, ada Emmak yang lebih merindukannya lagi.  Tapi bagaimana mungkin bapak kenal dengan Pak Ahmad?, pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benakku.
“nak,,, Pak Ahmad itu adalah rekan bisnis bapak.  Bapak memang menitipkan kalian pada Pak Ahmad.”, ucap bapak menjawab teka-teki ini.
Seketika itu, Emmak keluar dan memeluk Bapak begitu lamanya. Barangkali mengobati kerinduan yang selama ini beliau pendam.
Malampun sudah seperti yang aku rancang, dengan petasan yang begitu banyaknya, aku, bapak, dan Emmak berpelukan. Alhamdulillah......


Tidak ada komentar:

Posting Komentar