Menenun Harap di Awal Tahun
By: Faiq aktif sebagai reporter di LPM
https://www.hipwee.com/list/untukmu-perempuan-penumpuk-harapan-jangan-korbankan-perasaanmu/ |
Pada
nyatanya, dunia dituntut dengan yang namanya harapan. Aku, kamu, dia, kalian,
dan mereka, dan pada intinya kita, hidup karena harapan. Aku dengan harapanku.
Dia dengan harapannya. Kalian dengan harapan kalian. Mereka dengan harapan
mereka. Dan, kita pasti memiliki harapan berbeda.
Satu
udara, satu rembulan di satu bumi. Manakala petang datanglah bintang, dan jika
pagi berganti matahari. Di tengah keramaian kota, aku hidup dengan seorang ibu
yang kupanggil “Emmak”, dengan kondisi rumah yang tak layak. Rumah
hasil kreativitas aku dan Emma’. Kardus buangan dari toko sebelah, kami pungut
dan dijadikan alas untuk tidur, buangan plastik kami jadikan atap untuk
berteduh bilamana hujan. Rumah kami indah. Ada, meski tak diinginkan, layak,
meski tak dilayakkan. Tapi, kami berbeda.
Bukannya protes, kami selalu bersyukur karena masih bisa merasakan
indahnya pagi dan malam. Emmak selalu
mengajariku arti dari bersyukur.
“Bersyukur
itu indah, nak!”, itu adalah kalimat yang menjadi pesan Emmak setiap usai salat
berjamaah. Dan, itupun setiap waktu. Kurasa, setara dengan kultum (kuliah tujuh menit), yang biasa dibacakan di masjid, pas
setelah salat berjamaah.
Aku
adalah gadis remaja. Sholihah adalah gelar yang disandangkan Emmak kepadaku.
Dari lahir sampai sekarang, saat usiaku sudah mencapai 19 tahun, aku hanya
mengenal Emmak, tidak Bapak. Emmak bilang, Bapakku merantau entah di mana.
Karena, dari kecil, aku tidak banyak tanya tentang Bapak. Karena, setiap kali
aku melakukannya, kulihat Emmak menangis menahan pilu, mungkin juga rindu. Dan
aku tidak ingin Emmak sedih.
Aku
sendiri takjub dan bangga telah menjadi anak Emmak. Seorang wanita yang tegar,
sabar, dan ia selalu bersyukur. Sebab, ia percaya dengan bersyukur ia akan
mendapatkan apa yang ia dan aku harapkan. Bahkan, nyaris tak pernah kulupa,
saat aku kena dampratan kemarahan Emmak. Waktu itu, bukanya bersyukur, aku
mengeluh dengan keadaanku yang seperti ini. Dalam doa yang kupanjatkan aku
menangis tersedu-sedu. Hingga dalam nada rundukku, nafasku terengah-engah di
tengah keheningan. Dan, tangisanku mengganggu kekhusukan Emmak. Emmak
memandangku lekat-lekat. Gamang, cemas dan penuh tanya. Aku hanya menunduk tak
berani mengangkat wajah, atau memandang wajah Emmak yang ranum. Dan akhirya, pecah juga
keheningan saat itu. Saat Emmak merasakan klimaks penasaran pada kondisiku.
Tiba-tiba tangan Emmak, yang kasar menurut orang, tapi memiliki sihir
kedamaian, menurutku, memegang pundak dan mengangkat dagu. Terpancarlah cerah
mata Emmak menatapku penuh tanya. Emmak tidak bicara satu katapun. Tapi, aku
paham apa yang Emmak mau.
“Emmak....,
kenapa sih, Tuhan menjadikan kita seperti ini ? dengan kondisi yang tidak
layak, dan bahkan lebih parah lagi, Sholihah belum sempat melihat seperti
apakah wajah bapak. Sholihah capek terus-terusan seperti ini. Sholihah ingin
seperti mereka, yang rumahnya bergedung tinggi. Sholihah ingin seperti mereka,
yang keluarganya utuh”, tangisan sholihah semakin menjadi-jadi kebungkaman
sudah lenyap.
Tiba-tiba
saja Emmak pergi. Tanpa berusaha menghibur ataupun menasehati. Seketika saja
aku mengusaikan tangisku. Aku dilema, manakala kulihati Emmak sudah menghilang
dari pintu. Berbagai macam pertanyaan timbul satu persatu memperebutkan jawaban
di otakku. Kiranya Emmak kenapa ?, Emmak marah ?, atau Emmak sedih ?,.
jangan-jangan Emmak pergi meninggalkanku ?, apa dia bosan denganku yang selalu
menuntut ?, pertanyaan-pertanyaan itu nyaris tak menemukan jawaban. Akupun
rancu, antara mengejar atau tetap diam di hamparan sajadah biru ini.
Asaku
melambung tinggi. Menelaah satu persatu dari ucapanku, pada Emmak, mencerna
dari setiap celah kata dan bahkan hingga kalimat. Ada getar dalam dada,
teringat pesan Emmak yang hilang tanpa jejak. Aku lupa bersyukur. Kukira satu jawaban ini adalah suatu kebenaran
mutlak yang menyebabkan kemarahan Emmak.
“Astagfirullahhal
adzim..... 3x”,
Seperti
sajam yang melukai kulit, lidahku sudah menyayat hati Emmak. Lawanku
satu-satunya. Terlebih, aku telah membuat neraka. Aku melipat mukenah dan
meletakannya di kasur. Pikiranku sudah mulai kacau. Rasa cemas mulai
mengganggu. Aku harus mencari Emmak, kemanapun itu.
Pada
jalan setapak, kususuri lorong dengan secercah cahaya harapan. Dengan hati
hampa dan rasa berdosa. Mataku kembali hujan.
“maafkan
Sholihah, ya Allah!, Sholihah lupa bersyukur.”, ratap Sholihah, menengadahkan
telapak tangannya ke langit. Menitip pasrah pada yang kuasa, dan memohon
ampunan atas kehilafannya.
Emmak
belum saja ditemukan sampai sekarang. Hari sudah mulai senja. Aku benar-benar
hawatir dengan Emmak. Emmak dimana?, sudah kucari dimana-mana, tapi belum saja
ditemukan. Atau barangkali Emmak sudah ada di rumah. Akupun pulang dengan
membawa harapan meski pergiku belum ada jawaban atas Emmak. Aku merunduk tanpa
melirik kanan kiri. Karena, menjaga pandangan adalah solusi terbaik untuk
menjaga hati dari rasa iri dan hanya membuatku lupa bersyukur.
Dari
kejauhan, kulihati Emmak di dekat rumah dengan barang rosokan yang lumayan. Aku
dan Emmak adalah pekerja ulung di setiap hari. Semua pekerjaan kami kerjakan.
Baik dari mencuci, mencari barang bekas, dan jualan kue keliling milik Pak
Ahmad, tetangga kami. Kata Emmak,
asalkan itu bukan mencuri, dan halal. Dan syukur sekali, seperti Pak Ahmad,
yang baik, dan mau menolong kami. Setidaknya hal itu sudah mengurangi beban
Emmak. Jika kue milik Pak Ahmad laku satu keranjang, maka upah yang kami
dapatkan adalah Rp. 30.000, 00. Nilai rupiah yang cukup besar bagi aku dan
Emmak. Tapi, Emmak benar-benar wanita hebat. Sebagai tulang punggung keluarga,
beliau tidak pernah mengeluh sama sekali. Tiada perempuan setegar Emmak, di
dunia ini.
Dari
semua tetanggaku, aku bahkan hafal dengan karaker mereka masing-masing. Pak
Ahmad, yang penolong. Ibu Khumairoh (istri Pak Ahmad), yang nyaris tidak jauh
berbeda dengan Pak Ahmad. Beliau juga baik hati dan ramah. Maklum, berkat
bimbingan suaminya. Berbeda dengan Bu.
Tuti (tetangga dekat yang kaya raya), tetapi pelit. Bahkan, aku ingat sekali
dengan hal ini, saat aku dan Emmak, mencoba meminjam uang senilai Rp.20.000,00.
Dan beliau tidak memberinya gara-gara takut tidak bisa membayar, katanya.
Padahal, uang sedemikian tidak apa-apanya bagi Bu. Tini. Adapula Ibu Tini, yang
judes. Pak Ali, yang sombong. Dan masih banyak lagi tetanggaku yang sifatnya
tidak pantas kusebutkan.
Seperti
biasa, setiap pagi, aku dan Emmak ke rumah Pak Ahmad, untuk mengambil kue yang
akan dijual di pasar. Dan ternyata, hari itu sekitar tiga keranjang. Tetapi,
kami optimis bahwa kue itu akan laris manis. Aku dan Emmak merancang strategi
sebaik mungkin. Setelah lama memperbincangkan argumen masing-masing,
akhirnyapun ada titik solusi yang kami temui. Kami berinisiatif untuk menjual
kue itu secara terpisah. Aku di pasar dan Emmak keliling. Sebenarnya, aku tidak
tega jika Emmak berjualan keliling, aku sudah mencoba memaksa Emmak untuk
bertukar posisi. Tapi, Emmak tetap keras-kepala menolaknya. Akhirnyapun, kita
pergi pada tujuan masing-masing. Aku dengan dua buah kerangjang, dan Emmak,
dengan satu keranjang.
Seperti
biasa, pagi itu pasar ramai pengunjung. Ada yang sudah akad jual-beli, ada yang
masih tawar-menawar terkait harga ikan, dan ada juga yang bertengkar gara-gara
ikan yang ingin dibelinya direbut pelanggan lain. Tiba-tiba ada satu pengunjung
yang menghampiri stand-ku. Iya, kupikir ini stand, dengan satu kursi, tempatku
duduk, dan LENCAK –Istilah Madura
yang digunakan untuk menyatakan tempat duduk yang cukup untuk banyak orang.
Dan, biasanya dijadikan alas kasur orang Madura- unik dalam kategori pasar.
“Tante,
beli kuenya, dong!, belapa ya Te?”, tanya seorang bocah perempuan yang lucu,
lincah mengubah R menjadi L.
“1000-AN,
Dek. Mau beli berapa, sayng? Biar tante bungkusi.”, ucapku dengan ramah. Iya,
maklum. Sebagai penjual memang harus ramah dan baik hati pada pelanggan.
“Aini,
mau beli sepuluh libu, Te.”
“ok....
tunggu ya, dedek Aini!. Tante bungkusin dulu kuenya.”
“siap,
Tante”.
“1,
2, 3, 4........10. ini, dek. Kuenya sudah selesai.”, sampai menyerahkan
bungkusan kue tadi.
“terimakasih,
Tante. Aini balik dulu, ya!”, sambil menyodorkan selembar uang senilai
Rp.10.000,00 an.
Akupun
menerimanya. Dan mengucapkan Bhye Bhye kepadaya. Gadis yang lucu, cantik, lucu.
Uh... menggemaskan, pikirku. Satu, dua orang pengunjung kembali datang ke
Stand-ku. Dan, aku melayaninya seramah mungkin dan ada satu pengunjung
terakhir, seorang ibu bersama anaknya yang menangis. Dalam setiap kata yang
mengalir dari mulut anak itu, aku mencernanya bahwa ia menangis gara-gara ingin
membeli petasan untuk tahun baru.
Pikirku
mulai labil karena tangisan anak kecil itu, dan kata-katanya yang membuatku
galau, menerka impian yang sumula aku tanam.
Tahun baru sudah akan tiba, sedangkan aku masih saja bermimpi. Kuharap
ada keajaiban yang datang pada lembaran tahun yang baru akan aku rancang dan
aku jalani. Lusa, hidupku akan berubah. Entah menjadi lebh baik, atau
sebaliknya.
Tahun
baru ini, aku ingin sekali merayakan dengan keluarga. Aku, Bapak dan Emmak,
dengan sebuah petasan yang biasa orang pegang saat tahun baru. Aku sangat
bermimpi bertemu bapak. Aku ingin melihat seperti wajah bapak. Ranumkah?,
galakkah?, atau apapun itu.
###
Benar
saja, tahun baru akan segera berlangsung, nanti malam. namun, bapak belum saja
terlihat atau sekedar memberi harap, meski harapan palsu. Aku tetap saja tidak
putus harapan. Berharap ada tamu datang, dan itu adalah Bapak. Jangankan wajah,
nama panggilanpun aku tak tau.
“Assalamualaikum....!”,
kudengar suara Pak Ahmad sayup-sayup terdengar dari balik pintu kardus.
“Waalaikum
salam”, sembari mencari kebenaran dari sumber suara tadi. Dan, benar. Itu adalah
Pak Ahmad, dengan seorang pria jangkung, yang sebaya dengan Pak Ahmad, dan
entah siapa dia. Barangkali sahabat karibnya, pikirku.
“Nak,
ini bapak... ini bapakmu.”, dengan nada kemayunya yang begitu menyentuh hati.
“ba....
bapak?....”, aku langsung memelukya, erat sekali.
Terimakasih
tuhan, sudah menjawab doaku selama ini. Aku telah bertemu dengan bapak. Bahkan,
ada Emmak yang lebih merindukannya lagi.
Tapi bagaimana mungkin bapak kenal dengan Pak Ahmad?, pertanyaan itu
tiba-tiba terlintas di benakku.
“nak,,,
Pak Ahmad itu adalah rekan bisnis bapak.
Bapak memang menitipkan kalian pada Pak Ahmad.”, ucap bapak menjawab
teka-teki ini.
Seketika
itu, Emmak keluar dan memeluk Bapak begitu lamanya. Barangkali mengobati
kerinduan yang selama ini beliau pendam.
Malampun
sudah seperti yang aku rancang, dengan petasan yang begitu banyaknya, aku,
bapak, dan Emmak berpelukan. Alhamdulillah......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar