Oleh: Hasan Liema A. Prodi PBSI, Anggota Lpm |
Aku adalah seseorang yang sedang berada di restoran paling bergengsi di kotaku. Sambil menunggu pesanan aku berbicara dengan perempuan yang duduk sebangku denganku. Dia adalah kekasihku—perempuan pertama dalam hidupku yang mampu membuat diriku begitu betah dengan kebisingan, bahkan dia mampu mengubahku menjadi seseorang pemberani dalam menjalani kehidupan penuh dengan tantangan.
Wajahnya selalu saja menjadi titik fokus mataku, rasanya malam ini dunia hanyalah milik kita. waktu kadangkala kurasakan sedang menunggu di persimpangan jalan—enggan melangkah karena kabahagian yang tiada tara. Malam ini kita akan membicaran masa depan. Setalah sekian lama kita menjalani hubungan dengan status pacaran pada malam hari ini akan kami ubah menjadi hubungan dalam rida Tuhan. Sehingga kami tidak lagi bergelimang dosa dan tak menjadi contoh ayat Al-Quran yang berbunyi “laa taqrabu azzina”.
“Kau terlihat begitu cantik malam ini sayang” ungkapan itulah barangkali yang dirasa paling pantas untuk ku persembahkan padanya di malam kebahagian menuju kebahagian dalam hakiki. Hanya kata itulah yang terlintas dalam benakku, Karena bila boleh jujur, jantungkku saat ini berdetak tidak ritme. Darahku mengalir begitu deras bak air yang siap menenggelamkan ruamah-rumah.
“Ahh, kamu lagi memuji atau sedang mengkritisi?” dia menjawab dengan pertanyaan yang mampu membuat diriku tak dapat menahan tawa. Mungkin pertanyaan itu berlandasan pada kebiasaanku di hari-hari lalu. Memang seperti itulah aku, ketika aku bicara dengannya seringkali mengunakan majas ironi. Bukan karena aku pintar bersantra, tapi dengan seperti itu aku begitu bahagia, aku bisa tertawa dengan tawa yang telah mebuat kekasihku terpesona.
“Tidak lah, untuk malam ini aku benar-benar jujur, tak seperti hari lalu yang meleluconi kehidupan”
“Iya deh aku percaya” ya… jawaban itulah yang paling kau suka ketika berhadapan dengannya, apalagi ditambah dengan raut muka lucu dan menggemaskan itu.
Rasanya,begitu sulit dilukisakan dengan kata-kata kebahagian dalam dadaku di malam ini. pembicaraan demi pembicaraan berlalu dengan cepat melampaui kecepatan cahaya.
*****
Kebahagian itu tiba-tiba saja teganggu dengan teriakan keras dari orang asing di ambang pintu. Orang itu berpakain serba hitam dan ditangannya ada senjata yang diacungkan—di arahkan kepada semua pengunjung restoran bergantian. Awalanya satu orang, namun setelah yang mengacungkan tadi masuk semakin dalam ada orang lain juga masuk megikuti langkanhnya dengan pakaian sama juga senjata yang sama. satu persatu orang-orang berpakaian hitam itu masuk dan berjejer di dekat pintu.“Semuanya turun dari kursi dan angkat tangan” suara lantang dari salah satu orang-orang berbaju hitam memenuhi ruangan, mengagetkan semua pengunnjung juga aku dan kekasihku. Semuanya tunduk—tak ada stu orangpun dalam ruangan ini yang berani membantah dan melanggar perintah. Mungkin ketakutan akan kematian lebih menjamin ketenang ketimbang keberanian dan sikap heroik atau pujian yang akan siap meluncur dari mulut-mulut orang-orang, di Koran-koran harian, juga dari mulut presenter pembawa berita di televisi.
Bugitupun juga aku dan kekasihku merasa takut pada malaikat maut yang siap mengandeng roh kami menuju kesisi-Nya, meskipun kadangkala aku berimajinasi liar dan tak dapat di nalar. Aku membayangkan aku dan kekasihku digandeng malikat Azrail untuk di bawa ke sisi Tuhan, aku di pengang dengan tangan kanan dan kekasihku ditangan kiri.
Salah satu dari laki-laki berpakaian serba hitam itu tiba-tiba mendekatiku dengan sejata yang siap melontarkan peluru kepada siapa saja di depannya. Aku mendudukkan kepala dengan harapan laki-laki itu melewatiku. Namun semua pengharapanku itu di tepis dengan begitu lembut. selembut-lembutnya, hingga aku tak merasakan apa-apa lagi kecuali ketakuatan yang tiada tara.
Laki-laki itu berdiri tepat satu meter di depanku. Celana dan sepatunya yang pasti bau itu menjadi bagian hiasan terburuk dalam ruang pandangku. Banyak kemungkinan datang menerobos otakku. Bayangan-bayangan mengerikan terus berlarian dan mengolokku—memanggilku untuk saegera mengikuti jalan yang mereka berikan.
“Hey kamu, angkat kepalanya!” dia membentakku juga mengacungkan senjata tepat menyentuh mukaku. Sontak aku langsung mendongak memandang wajahnya dibalik topeng jelek itu.
“Bangun!” kembali lagi dia menyuruhku dengan suara lantang memenuhi seluruh ruangan, menerobos kesetiap telinga dalam ruangan ini. Terus menerobos hingga memasuki hati masing-masing lalu menciptakan bangunan yang bernama ketakutan. Dan mungkin juga lega karena telah luput menjadi sasaran maut yang di hantarkan oleh orang-orang berpakaian seraba hitam. Tampa menunggu perintah yang kedua kalinya aku langsung bangun. namun untuk sementara waktu kualihkan perhatianku pada sesosok perempuan di sisiku. Sepersekian detik kupandangi kekasihku dengan disandingi sesungging senyum pasrah. Kulihat diwajahnya ada bulir-bulir bening menetes bersumber dari pelupuk matanya. Menandakan ketidak relaan kekasihnya pergi meninggalkannya. Namun dia tak bersuara seperti yang telah aku perintahkan tadi sebelum laki-laki bertopeng itu menghampiriku.
“Hei mengapa menangis? Kamu tak rela bila kekasihmu ini aku bawa?” laki-laki bertopeng itu tertwa jumawa. Namun kekasihku tetap tak menjawab mengkuti seperti apa yang aku perintahkan.
“Hahahaha. Ayo kamu ikut juga jika tak ingin berpisah dengan kekasihmu ini” sambil menunjuk diriku dengan senjatanya.
“Jangan bawa dia, dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah itu” bentakku. Sebenarnya aku tahu siapa laki-laki bertopeng itu. Mereka pasti sesuruhan dari seorang koruptor penggelapan uang yang bukti-buktinya ada di tanganku. Begitulah para koruptor bangsa ini, akan menghalalkan segala cara untuk menyelamatkan karirnya. Dan mengorbankan apa saja agar kebohongan yang selama ini mereka simpan tetap aman.
“Wow. romantisnya, hahahhahh” dia masih tetap dengan tawa sama. tawa yang tak mengenakkan di telinga. Tawa menjijkkan. Ingin rasanya aku sumpal mulutnya agar tawanya reda, dan tak lagi menghawatirkan orang-orang. Namun itu semua hanyalah bayangan—imajenasi yang tak mungkin bisa kulakuakan kecuali bila sudah siap menyerahkan nyawa di ujung peluru.
“Berdiri, kalau tidak akan aku ledakkan kepala kekasihmu ini”
Akhirnya keksihku ikut berdiri. Meskipun sekuat apapun aku mencegah atau memerintah tak mungkin akan terlaksana. Karena sekarang aku tak memiliki kuasa. Sekarang aku hanyalah budak dari sesuruhan koruptor.
“Ayo jalan” dia mendorongku dengan paksa. Memabawaku melintasi meja-meja makan juga orang-orang yang duduk berjongkok yang di penuhi ketakutan di hati.
Tak butuh lama untuk ku sampai di luar gedung. Lalu masuk keedalam mobil jeep yang talah terparkir dan siap meluncur kapanpun pengemudinya mau. Namun ternyata aku tak di letakkan semobil dengan kekasihku.
Suara mesin menderu-deru. Kemudian mobil itu melaju keluar dari area parkir menuju jalan raya. Mobil itu melesat dengan cepat, menyalip mobil-mobil lain yang berkecepatan di bawah rata-rata. Aku masih tetap pada posisi semula, duduk tenang menghadap kedepan, dihimpit dua laki-laki bertopeng. Namun pikiranku kali ini telah berubah haluan, semula ketakutan dan bayang-bayang kematian kian bolak abalik menghantui telah berubah menjadi kehawatiran pada kekasihku. Kadang ku sempatkan menoleh untuk sekedar memastikan bahwa kekasihku masih tetap berada di zona aman.
Kehawatiran itu telah menuntunku untuk mencari solusi terbaik agar terlepas dari genggaman para penculik ini. hingga sudah tak terhitung berapa KM jarak tertempuh aku masih belum menemukan solusi terbaik untuk bebas. Rasanya, jarum jam berputar tak seperti biasanya—lebih cepat hingga terasa menyalip waktu itu sendiri.
Bertarung dengan ketakutan dan kegelisahan ternyata tak mudah. Apalagi ketakuatan akan kehilangan seseorang. Satu demi satu kemungkinan telah aku timbang sehingga kesempatan untuk menjalankan rencana datang menjemput.
Aku melihat salah satu dari penculik di sisiku itu mulai lengah—ia melepaskan senjata api yang telah menjadi andalannya selama ini. dan senjata inilah yang telah membuat nyali orang-orang menciut. Aku tak membuang-buang waktu berharaga itu. tampa pikir panjang aku langsung mengambil senjata api itu dan menembakkan ke semua penculik kecuali yang mengemudikan mobil. Aku biarkan dia bernafas lega sejanak. Lalu ku todongkan senjata api ditanganku hingga menyentuh kepalanya. Namun malang nasibku, Karena kurang sigap sehingga dengan mudah ia jatuhkan senjata ditanganku. Kemuadian ia menunduk untuk mengambil senjata yang jatuh tadi.
Semuanya tak seperti yang telah aku rancanakan. Sebelum penculik itu berhasil mengambil senjata tepat didepan mobil yang kami tumpangi ada truk dengan klakson mengaung-ngaung—memberi tanda agar segera menghindar. Tampa menungu lama penculik itu membelokkan mobil secara tajam, kamudian membentur pagar jempatan. Tak sempa mengerem kami dan mmobil jeep yang kami tumpangi meluncur deras kebawah.
Aku tak dapat berpikir lagi, bahkan tentang kekasikhku yang sangat aku cintai itu. yang kupikirkan hanya bagaiman caranya keluar dari mobil jeep yang perlahan-lahan terendam air. Tak butuh lama untuk mobil ini terendam sempurana. Entah apa saja yang telah aku hantam aku tak tahu lagi. semua tubuhku terasa sakit.
Seiring berjalannya waktu kesakitan disekujur tubuhku perlahan menghilang tergantikan dengan kemapanan dalam ruang gelap tak bercahaya yang etah dimana.
Aku merasakan sekujur tubuhku basah, mobil dan para penculik itu mendadak hilang. Meninggalkan tubuhku yang kuyup dan ketakutan yang belum beranjak juga. Di depan komputer perpustakaan. Keringat membasahi tubuhku juga jari-jariku yang menempel di keyboard.
Berhasilkah aku menceritakan kronologi penculikan saksi dalam kasus korupsi di negara ini, juga tentang sepasang kekasih yang gagal menikah karena masalah itu?
Kakiku terasa bergetar. Aku terus mencoba melawan kebas di tangan dan kakiku dengan cara terus mengerakkan meskipun susah payah. keringat yang membanjiri tubuhku telah hilang ketika aku menghidupkan kipas. Namun bila boleh jujur. ketakutan dan bayangan kronoloogi penculikan itu masih belum benar-benar pergi dari ingatanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar