Senin, 16 September 2019

NOSTALGIAWAN DAN RADIKALISME YANG MENJANGKITI

Esai.
Hasan
Prodi PBSI
Anggota LPM 2019

Saya cukup tergelitik melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Saya sempat tertawa terbahak-bahak ketika ada seorang teman yang tiba-tiba saja bermanifestasi perihal radikalisme, meskipun dia tidak sadar bahwa yang dia katakan terkategorikan radikalisme.

“Barangkali kita harus kembali ke masalalu untuk bangkit, sebab di masa dahululah Islam mengalami perkebangan yang sangat pesat, dengan sistem pemerintahan dan hukum-hukum yang islami” begitulah kira-kira inti dari penyampaiannya. Saat itu saya igin tertawa dengan keras, tapi karena menjaga perasaanya, jadi saya hanya tersenyum kemudian menambahkan “kamu itu ternyata nostalgiawan ya?”

Ada beberapa kasus lain yang tak kalah lucu dari yang saya alami di atas, semisal ada satu keluarga yang sangat harmonis, namun karena termakan doktrin radikalisme hingga menyatakan diri untuk melakukan pengeboman seperti di Surabaya setahun yang lalu, atau yang terjadi di New Zealand Selandia Baru. Padahal jika orang-orang tersebut menyadari esensi dari kehidupan, maka mereka akan berpikir dua kali untuk bertindak. Mereka tidak pernah memikirkan keharmonisan keluarga mereka yang terenggut karena paham seperti itu.

Lebih parahnya lagi radikalisme yang kemudian berkembang mejadi terorisme di sangkut pautkan dengan agama. Padahal hakikatnya tidak satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Seperti yang dijelaskan dalam alquran “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan tuhannya, dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkankan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (Asy Syura: 38) atau “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (Al kafirun: 6)
Dari ayat tersebut amatlah jelas diterangkan tentang toleransi juga demokrasi. Lantas apakah masih ada kerguan dihati kita terhadap pancasila, terhadap “bhineka tunggal ika”?. Lalu dimanakah letak keislaman kita jika kita tidak mematuhi alquran yang menyerukan untuk berdemokrasi.

Berdasarkan penelitian tim setara intitute, radikalisme pada awalnya muncul karena adanya kepenting-kepentingan politik, bukanlah atas dasar agama. (Dari Radikalisme Menuju Terorisme, 2012). Gerakan-gerakan islamisasi seperti  HTI sebenarnya adalah oraganisasi fanatik yang para anggotanya barangkali tidak secara cermat memahami sejarah. Meskipun dalam latar belakang berdirinya HTI kerena ingin mengembalikan kepada sistem yang islami, tapi saya yakin mereka adalah orang-orang yang tak pandai membaca sejarah, atau bahkan mereka tidak sekalipun membaca sejarah.

Mereka (penganut paham radikalis) juga adalah nostalgiawan yang tidak bisa move on pada masalalu indah yang tealah lama sirna. Orang-orang yang menganut paham radikalisme adalah orang-orang yang gagal memahami esensial ajaran Islam. Tapi yang mereka pahami adalah islamisme. Jika memahami dua kalimat itu secara arbirter maka yang terjadi adalah kesalahana yang amat fatal.

Maajid Nawaz yang salah satu mantan anggota HTI menerangan dalam bukunya yang berjudul Radikal. “saya ingin membedakan antara islamisme dan islam, dan jihadisme dari jihad”. Menurut majid islamisme adalah hasrat untuk memaksakan satu pandangan.

Masalah latar belakang juga menjadi polemik urgen dalam pembentukan-pembentukan pemikiran radikal, semisal ada orang-orang yang baru masuk Islam kemudian mendapatkan ajaran islamisme bukan ajaran islam. Tentulah dia akan langsung punya pemikiran keras, atau contoh lain ada sesorang remaja yang tidak pernah diajarkan agama Islam secara baik, tapi di keluarganya hanya dicekoki dengan perintah untuk tidak meninggalkan sholat, tak sekalipun diperintah untuk memahami peikiran-pemikiran ulama-ulama klasik. Yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan pendapat yang harus ditoleransi.

Faktor yang tidak kalah penting sebagai pemicu pemikiran radikalisme adalah dunia yang serba instan. Dengan peyebaran informasi yang hanya butuh sepersekian detik untuk sampai kepada daerah yang amat jauh sekalipun, dijadikan senjata ampuh penyebaran pemikiran-pemikiran radikalisme. pada dasarnya sumber radikalisme adalah kebencian. Kebencian adalah mala petaka paling ditakuti oleh siapapun, sebab ketika kebencian telah bersemayam dalam hati seseorang maka orang itu akan mudah marah dan bertidak tanpa mengenal batasan. Dari kebencian itulah lahirlah hoax dan hate speech. Dari kedua hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan mebuat sebagian masyarakat berani melakukan perilaku intoleran.  Bahkan mungkin akan melakukan tindakan-tindakan terror.

Lalu apa hubunganya kebencian dengan radikalisme. tentu sangat berhubungan erat, sebab dalam pemahan islamisme seseoarang diajarkan untuk fanatik (berpikir bahwa hanya kelompoknya yang benar sedangkan yang lain salah, bahkan dianggap kufur.

Barangkali hal yang sangat solutif untuk mencegah pikiran kita terjangkit radikalise adalah dengan cara pintar-pintar memilah dan memilih informasi yang samapi pada kita. Sebagai mahasiswa tentulah menjadi tugas kita utnuk memotoring pemfilteran penyebaran paham-paham radikalisme. mari kita tanam naisoanlisme kerelung terdalalm hati kita, sebab pancasila bukan hanya sekadar dasar atau falsafah Negara. tapi juga didalamnya terdapat moralitas yang amat tinggi. Bersugestilah “NKRI harga mati”. Wallahu a’lam bissawab.

1 komentar: